2016: Menjadi pembimbing tugas akhir

Tahun 2016 adalah tahun yang menurut saya penuh kejutan, penuh pengalaman, dan penuh memori. Air mata dengan kondisi down bisa mengalir bersamaan dengat tawa lebar penuh optimis. Aneh memang, tapi kira-kira memang begitu kondisinya. Ntah itu tentang pekerjaan, tentang persahabatan, tentang keluarga, maupun tentang hati.

Kali ini saya ingin summarise tentang pengalaman saya menjadi pembimbing mahasiswa master disini. Summary tentang kehidupan persahabatan dan cinta akan saya tulis secara terpisah berikutnya. Oia, sebenarnya saya bukan menjadi pembimbing utama, melainkan saya membantu membimbing mahasiswa yang dibimbing oleh pembimbing saya. It sounds complicated? hehehe 😛

Yap, dikarenakan riset yang saya kerjakan ini cakupannya cukup luas, dan juga dikarenakan topik yang saya kerjakan masih belum dikaji secara luas atau bisa dibilang masih menjadi pioneer di bidang saya, maka pembimbing saya pun menawarkan saya beberapa mahasiswa master, baik dari program MEng maupun MSc untuk membantu riset saya. Awalnya tentu saja saya deg-degan, karena khawati saya tidak bisa membimbing para mahasiswa master tersebut nantinya. Tapi tentu saja keraguan itu hanya saya simpan di hati saja, saya pun dengan optimis menyetujui usulan pembimbing saya tersebut.

Maret 2016, dua orang mahasiswa MEng dari dua negara yang berbeda, China dan Yunani, secara official mengerjakan tugas akhir dengan topik yang ada kaitannya dengan riset saya. 2 orang laki-laki yang tidak hanya memiliki nationality yang berbeda, tapi juga memiliki dua karakter yang berbeda, bahkan hampir bertolak belakang. Kevin adalah nama mahasiswa yang berasal dari China, sementara Angelos berasal dari Yunani. Pertemuan kami pertama kali terjadi di ruang pembimbing saya yang sekaligus pertemuan pertama mereka mengerjakan tugas akhir dibawah bimbingan pembimbing saya. Tak menunggu untuk diskusi kedua, selesai pertemuan pertama, saya sudah bisa menilai bagaimana karakter Kevin dan Angelsos. Kevin adalah mahasiswa pemalu, pekerja keras, serius, tapi ragu-ragu, takut mengambil resiko. Sementara Angelos itu berkarakter selengehan, santai, tidak malu bertanya, over-optimist, dan temperament, serta agak pemalas, tapi cerdas.

Ternyata cukup mudah menilai mahasiswa itu seperti apa. Tinggal dilakukan diskusi, kemudian diadakan sesi tanya jawab, maka dengan mudah bisa ditebak apakah mahasiswa tersebut pintar, berwawasan luas, optimis, pekerja keras, dan punya rasa ingin tahu yang tinggi. Atau mahasiswa tersebut diberikan tugas mengerjakan ‘x’ misalnya, maka kita bisa menilai mereka dengan melihat bagaimana respon mereka ketika diberi tugas. Bagaimana hasil yang mereka berikan pada saat mereka setuju untuk mengerjakan tugas itu. Bagaimana selama proses pengerjaan itu, apakah aktif, banyak bertanya atau sebaliknya pasif, atau bisa jadi mahasiswa itu hanya mencari muka. **Ada loh, mencari muka itu walaupun berkonotasi negatif, entah bagaimana menurut saya juga merupakan salah satu karakter yang dimiliki oleh employee dimanapun berada, apapun kantor atau perusahaannya. hehe

3 bulan full bersama mereka, terhitung Maret hingga May 2016, tentu kenangan demi kenangan itu tergoreskan. Entah berapa kali saya beradu agumen dengan Angelos yang sangat keras kepala. Angelos yang orangnya careless atau kurang hati-hati membuat saya was-was membiarkan dia mengerjakan eksperimen saya. Gagal berarti gagal, tidak ada kesempatan kedua. Jika eksperimen saya gagal dikarenakan ketidakhati-hatian mahasiswa master ini, akan berakibat fatal pada PhD saya. Sementara tentu bagi mereka tidak begitu masalah. Toh nilai tugas akhir ini tidak mengambil andil yang cukup besar agar mereka bisa lulus program master ini. Jadi jika hasil yang diperoleh tidak sesuai yang diinginkan, maka mereka dengan mudah menuliskan apa yang mereka dapatkan. Tidak seperti saya yang harus berfikir keras memikirkan solusi untuk penelitian berikutnya.

Saya banyak belajar dari Angelos, salah satunya bagaimana untuk memberikan kepercayaan kepada orang lain. Yap, saya yang tidak percaya dengan apa yang dia kerjakan terhadap hasil yang dia peroleh, membuat Angelos ternyata juga tidak menyukai saya. Sementara itu, Kevin juga memberikan pelajaran unik kepada saya. Pelajaran tentang bagaimana menjadi orang yang jujur, jujur dengan hasil eksperimen yang ada, sekecil apapun masalah itu terjadi.

Hanya berselang dua minggu saja, ketika Kevin dan Angelos mengumpulkan laporan mereka sebagai penanda berakhirnya tugas akhir mereka, mahasiswa MSc pun datang melanjutkan tugas mereka. Xianyi yang berkewarnegaraan China dan Joshua yang berkewarganegaraan Nigeria, serta Chao yang juga dari China juga meninggalkan cerita tersendiri dalam kehidupan penelitian saya di tahun 2016.

London, 28 Januari 2017

2016: De Quervain’s Tendinosis

Berawal dari pertemuan di bulan Oktober 2015 dengan pembimbing yang meminta saya untuk bisa mempersiapkan draft terkait topik tugas akhir untuk mahasiswa S1 tingkat 4 atau disini disebut ‘MEng student’, maka disinilah pembimbing saya memberitahu saya bahwa tahun depan akan ada dua orang MEng student bekerja membantu penelitian saya.  Tentu saja ketika itu saya merasakan kesenangan serta keraguan dalam bersamaan. Ragu, apakah saya memang bisa membimbing mahasiswa MEng ini, ragu apakah mereka akan paham dengan apa yang saya bimbing, ragu apakah mereka dapat mengerjakan riset saya dengan sebaik-baiknya.. Dilain sisi, tentu saja saya juga senang, karena itu artinya kerjaan saya menjadi lebih ringan, bahkan saya bisa melirik pekerjaan lain selama 2 orang MEng ini mengerjakan riset saya. Senang karena saya akan merasakan pengalaman untuk membimbing mahasiswa disini, bahkan dua orang sekaligus. Ntahlah, kita lihat saja nanti, hatiku pun berbicara pelan.

Kemudian November dan Desember 2015, dua bulan saya melakukan experiment full di Lab untuk membuat ratusan sampel beton yang akan digunakan oleh MEng nanti. Dibantu oleh teknisi saya yang orangnya baik tapi super moody, 2 bulan target untuk membuat beton berjumlah 144 buah, alhamdulillah tercapai. Selesai tapi dilain sisi juga mendatangkan masalah. Yap, dua bulan secara terus menerus mengangkat hal yang berat, dsb, membuat jempol saya terkilir, dan kemudian saya pun didiagnosa oleh dokter terkena penyakit “De Quervain’s Tendinosis”. Tentu saja hal ini membuat saya panik karena khawatir jika jempol saya akan selalu bermasalah seperti ini yang menyebabkan saya tidak bisa beraktifitas normal lagi.

Informasi tentang penyakit ini pun saya kumpulkan. Saya juga datang ke dokter untuk memeriksa jempol saya ini. Pertama kali dokter pun membuat surat rujukan untuk saya agar melakukan X-Ray di rumah sakit pada jempol saya ini, barangkali ada hal yang serius terkait tulang saya. Ternyata alhamdulillah tidak ada, hanya ada masalah dengan tendon saya saja, ujar sang Dokter. Saya pun kemudian diminta untuk memakan obat rasa nyeri tiap kali saya merasakan nyeri di jempol saya, dan kemudian mengoles salap untuk menghilangkan rasa nyeri juga. 3 bulan, 4 bulan, saya beraktifitas dengan kondisi jempol saya tidak bisa digunakan secara normal. Saya mengalami kesulitan untuk mengetik, untuk menulis, pun untuk membuka gagang pintu. Tak ada perubahan, kemudian saya pun bertekad untuk pulang ke Indonesia, untuk ‘berurut’, karena saya yakin salah satu cara ampuh adalah datang ke tukang urut. Sebenarnya dalam tahap pengobatan di London ini, dokter saya sudah berencana untuk mendaftarkan saya untuk melakukan terapi pada jempol saya ini. Namun, proses pengobatan yang bertahap di UK ini, membuat saya baru mendapatkan jadwal terapi 4 bulan kedepannya, sementara menunggu waktu 4 bulan, saya hanya diminta untuk terus memakan obat anti nyeri (ibuprofen) jika nyeri itu terasa.

Hasil pulang ke Indonesia dengan melakukan pengobatan tradisional, yakni berurut, tidak menghilangkan rasa sakit ini 100%. Berkurang memang iya, tapi rasa nyeri itu masih terasa. Dikarenakan keterbatasan waktu saya di Indonesia, saya pun harus balik ke London dengan kondisi saya masih merasakan rasa nyeri di jempol saya. Sebenarnya ketika saya berurut, ibu tukang urut saya pun sempat memberi tahu saya bahwa kondisi jempol saya ini sudah di level medium yang bisa saja dengan cepat menjalar ke tendon saya lainnya. Tentu saja pernyataan ibu ini membuat saya cemas dan kemudian sedih. Khawatir hal terburuk akan saya alami.

Sesampainya di London, saya pun datang ke dokter lagi, dan kali ini dokter meminta saya untuk menggunakan ‘thumb splint’ setiap waktu yang bisa saya beli di apotik. Dikarenakan kegiatan saya di lab tidak begitu padat ketika itu, maka alhamdulillah perlahan rasa nyeri itu memang berkurang.

Akan tetapi, entah bagaimana ceritanya, jempol saya tiba-tiba terbentur benda keras di pagi hari, ketika saya hendak bersiap berangkat ke kampus. Saya pun kaget luar biasa dan air mata pun mengalir karena rasa sakit yang tiada tara. Perlahan saya mencoba melakukan gerakan pada jempol saya, akhirnya rasa perih itu berkurang sedikit. Saya pun kemudian memutuskan untuk datang ke dokter hari itu juga. Kebetulan pukul 8.30 – 10.00 adalah jadwal emergency yang dimana pasien akan dilayani dengan cepat jika memang membutuhkan pertolongan yang cepat. Jika tidak, untuk pengobatan biasa, kita baru dapat jadwal paling cepat satu minggu berikutnya.

Nama saya pun dipanggil untuk masuk ke ruangan dokter. Kebetulan dokter yang saya temui saat itu bukan dokter yang selama ini saya temui sehingga ketika dokter bertanya tentang apa yang saya alami, saya pun harus menceritakannya dari asal mula saya merasakan sakit di jempo saya. Kurang lebih 7 bulan sudah rasa nyeri itu saya rasakan. Dokter pun dengan tanggap menawarkan ‘injection’ atau suntikan di jempol saya. Awalnya tentu saja saya ragu-ragu karena khawatir akan memberikan dampak kepada organ atau kesehatan saya yang lain. Tapi dengan ramah sang dokter pun menjelaskan bahwa tidak ada efek samping dari suntikan ini.

5 menit dokter mempersiapkan proses ini, akhirnya jempol saya pun disuntik 2 kali. Ntah apa yang terjadi dengan suntikan itu, bagaimana dokter memasukkan jarum itu ke tangan saya, saya tidak tahu sama sekali, karena disepanjang proses injeksi, saya hanya menutup mata saya rapat-rapat. hehee

3 menit, proses itu selesai. Dan alhasil, semua rasa nyeri, rasa sakit di jempol saya hilang seketika. Hilang 100%. Tak ada rasa nyeri berbekas sedikitpun, jempol saya sembuh total. Alhamdulillah..

Dengan perasaan bahagia bercampur haru, saya pun menceritakan hal ini ke orang tua saya, ke sahabat terdekat saya.

7 bulan menahan rasa nyeri, walaupun tidak terlalu mengganggu aktivitas, ternyata hanya dengan 3 menit saja lewat proses injeksi, rasa nyeri itu hilang. Yap, beginilah proses pengobatan di UK pada umumnya. Prosesnya bertahap dan dokter pada umumnya akan mengarahkan pasien untuk melakukan hal-hal yang kecil terlebih dahulu, seperti menkonsumsi obat penghilang rasa nyeri, sampai kemudian ketika terasa semakin memburuk, baru kemudian dokter akan melakukan tindakan medis seperti memberikan suntikan atau operasi. :))

 

Desember 2016

23 Desember 2016
Ntah bagaimana ceritanya bahwa 2016 ini akan berakhir seperti ini, berakhir dengan sesuatu diluar nalarku. Jujur saja tak pernah diri ini membayangkan akan bertemu akhir seperti ini. Ku kira akan berakhir indah atau setidaknya berakhir baik. Oh, ternyata aku keliru.
Ntah berapa kali mereka, teman-temanku, mengingatkanku agar aku bangun dari mimpi itu. Mimpi yang seharusnya tak seperti itu. Mimpi yang seharusnya berjalan indah dan bahagia. Tapi diri ini terlalu keras kepala, terlalu buta dengan apa yang ada sehingga aku menolak apa yang mereka sampaikan. Aku tak mempedulikan mereka, bagiku apa yang ada dalam pikiranku itu benar, tak ada yang keliru.
Ini tentang sebuah mimpi. Mimpi yang sudah ku ukir sejak pertengahan tahun ini bahkan ukiran itu pernah pudar dan kuhapus sengaja. Ntah bagaimana mimpi itu datang lagi dan aku kembali pada ukiran itu, ukiran yang masih terlihat sama-samar, sehingga kuperjalas kembali dengan perlahan.
Ini tentang cerita masa lalu yang pernah hadir di hidupku. Ingin ku hapus semua memori, tapi tak ada gunanya karena semuanya pernah ada dan diri ini yang menjadikan mimpi itu nyata, mimpi itu ada wujudnya.
Oh,
Andai saja aku mengikuti kata hati sejak dulu, maka tak kan ada kesedihan dan kekecewaan seperti ini.
Andai saja aku percaya apa kata teman-temanku sejak dulu, maka ku tak kan mempedulikan peristiwa itu.
Andai saja mimpi itu tak pernah ada, maka tak kan ada ukiran yang pernah tergores.
Lalu,
Bagiku tak ada penyesalan.
Bagiku masa lalu adalah pembelajaran.
Bagiku rezeki itu tak pernah tertukar dan akan datang di waktu yang tepat.
Dan kini,
Bersiaplah wahai diri akan ukiran baru yang akan digoreskan.
Bersiaplah wahai diri menyambut kesenangan dan kesedihan baru yang akan datang.
Bersiaplah wahai diri..
Jangan menyerah,
Jangan bersedih,
Tetap berfikir positif padaNya.
Berusaha.
Berdoa.
Ikhlas.
Sabar.
dan Bersyukur.
Hari itu akan tiba, percayalah!
-London, 29 Desember 2016-

Happy Eid Mubarak 1437H

Padang, 7 Juli 2016.

Selamat idul fitri 1437H, mohon maaf  lahir dan batin.
Taqabbalallahu minnaa wa minkum. Shiyamana wa Shiyamakum.
Semoga kedepannya kita semua menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya.
Semoga kita bisa bertemu lagi dengan Ramadan dan lebara tahun depan.
**

Alhamdulillah, pada lebaran tahun ini saya pun berkesempatan untuk bisa pulang ke Indonesia untuk merayakannya bersama keluarga. Sebenarnya ini bukanlah rencana yang sudah saya rencanakan jauh-jauh hari, namun ini keputusan satu minggu sebelum saya pulang. Yap, deadline dua paper konferensi, menjadi co-supervisor dua orang mahasiswa master (MSc), deadline laporan tahun kedua beserta persiapan ujian tahun kedua, menjadi juri poster pada simposium mahasiswa postgraduate, serta aktivitas lab yang cukup padat membuat saya harus berfikir secara matang apakah keputusan saya untuk pulang di tahun ini adalah keputusan yang tepat dan tidak akan saya sesali.

Awalnya, sekitar satu bulan sebelumnya saya memang sudah merencanakan pulang ke rumah pada saat lebaran untuk alasan kesehatan karena saya mengalami sedikit masalah dengan tendon di jempol tangan saya yang menyebabkan sulit untuk digerakkan. Tapi alhamdulillah, dua minggu sebelum saya pulang, saya sempat datang ke klinik kampus dan kemudian dokter melakukan injeksi di sekitar jempol dan pergelangan tangan saya tersebut, dan kemudian hasilnya alhamdulillaah rasa nyeri itupun hilang sama sekali. Alhasil, rencana saya untuk pulang ke rumah untuk berobat (aka urut) ditarik kembali.

 

Kemudian, alasan lain pun seakan-akan menari indah di sekitar pikiran dan hati ini. Pertama: Bagaimana jika sekarang adalah lebaran terakhir saya berstatus ‘single’? Kenapa tidak merayakannya dan mengabadikan momen terakhir ini bersama keluarga di rumah saja?; Kedua: Sudah tiga tahun terakhir sudah tidak pernah merayakan hari kemenangan bagi umat Islam ini bersama keluarga? Tahun 2013 di Paris, 2014 dan 2015 di London. Apakah diri ini tidak rindu akan hal ini?; Ketiga: Tiket pesawat pulang pergi London-Jakarta dengan pesawat Garuda Indoneisa kebetulan sedang promo. Kenapa tidak saya pulang saja, toh harganya tidak begitu mahal?; Keempat: Tidak kah diri ini ingin beristirahat sejenak dari aktifitas S3 yang begitu menguras tenaga, pikiran, dan perasaan akhir-akhir ini?; Kelima: Tidak kah diri ini ingin berdiskusi secara lansung lebih serius bersama orang tua tentang ‘hal’ yang sudah dibahas sejak 3 bulan terakhir?

 

Yap, begitu banyak deretan pertanyaan dan pernyataan yang menghantui diri ini setiap harinya menjelang satu minggu ketika saya memutuskan untuk membeli tiket pulang. Hingga akhirnya saya pun membulatkan tekat untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan lebaran ini untuk merayakannya di rumah bersama keluarga. 7 hari cuti dari aktivitas lab dan office untuk hari spesial ini cukup worth it.

 

Saya pun kemudian menargetkan beberapa hal agar bisa saya selesaikan sebelum pulang. Alhamdulillah target-target tersebut seperti dua paper konferensi dan draft pertama laporan tahun kedua sudah saya submit ke pembimbing saya sesaat sebelum saya pulang kampung. Beruntungnya lagi, pembimbing saya menanggapi permohonaan cuti/ijin saya ini dengan sangat welcome.

 

Lantas, bagaimana perasaan selama saya ‘liburan’ di rumah? Dan jawabannya adalah mixed feeling. Bagaimana tidak, siapa yang gak bakal senang bisa berkumpul dengan keluarga dan merayakan idul fitri bersama setelah 3 tahun berturut-turut dirayakan sendirian di luar negeri? Namun sebaliknya, siapa yang tidak sedih dan tidak rindu akan kehadiran seseorang yang sudah sangat dekat dengan diri ini selama saya pulang ke rumah? Serta siapa yang tidak bersyukur ketika pulang bisa bertemu tidak hanya dengan keluarga inti saja tetapi dengan keluarga besar, tetangga, teman, yang kemudian mereka semua ikut membantu mendoakan studi ini agar lancar dan kemudian dapat dimudahkan Allah untuk dapat menuntaskan separuh agama (aka menikah) secepatnya?

Akhirnya, semoga kebahagian ini akan terus dijaga seterusnya oleh Allah. Semoga semua harapanku di tahun baru Hijriah ini bisa tercapai semua. Amminn ya rab.

Back to December 2015

23 Desember 2015
Ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di bandara Gatwick London. Jam tangan pun menunjukkan pukul 9 pagi dan diri ini pun sudah tiba di bandara ini dengan kereta Gatwick Express dari stasiun Victoria London dengan harga £11.80. Satu koper sedang 25 kg, satu buah tas ransel berisikan laptop, dan satu buah tas tangan menemani perjalanan saya ke Indonesia. Yap, Indonesia!! Saya yang akhirnya dengan keputusan ‘last minute’ memantapkan hati untuk pulang ke rumah bersama sahabat saya Aishah yang juga sedang menjalankan S3 di UK. Last minute, yap, karena tiket yang saya beli sejak September 2015 ini sudah pernah saya coba untuk direfund kepada pihak garuda karena alasan riset yang sepertinya tak bisa saya tinggalkan. Tapi drama pun menghiasi proses ‘refund’ tiket saya ini, dari keputusan bahwa tiket saya bisa direfund sampai kemudian pihak Garuda memohon maaf kepada saya karena adanya kesalahan informasi sebelumnya dimana tiket saya ternyata tidak bisa direfund bahkan direschedule, yang pada akhirnya saya pun berkata pada diri saya: Just go home, you need some fresh air from Indonesia.. Yes, I am going home then!!

Berbicara tentang natal, yap, bagi sebahagian mahasiswa PhD di UK, maka mereka akan memanfaatkan momen liburan natal selama 2 minggu untuk refreshing dan istirahat sejenak melupakan segala hal berhubungan dengan penelitian.  Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan sekali setahun ini, saya pun bersama Aishah sepakat untuk pulang ke Indonesia bersama bahkan sejak bulan Agustus 2015 rencana ini pun sudah saya persiapkan secara matang. Lagi-lagi, ini pertama kalinya saya naik pesawat Garuda Indonesia dari luar negeri ke Jakarta, pun pertama kalinya saya pulang ke Indonesia bersama Aish. Jika ditanya bagaimana perasaan saya ketika hari itu tiba? BAHAGIA alhamdulillah.. :))

11.30, pesawat saya pun berangkat dari London. Pengecekan bagasi dan visa imigrasi berjalan lancar alhamdulillah.
12.30, saya pun tiba di Amsterdam sebagai tempat transit saya sebelum pesawat membawa saya menuju Jakarta. 2 Jam pun terasa cepat berlalu, bandara Amsterdam yang cukup besar pun selesai kami jelajahi. Tak lupa saya pun membeli cemilan khas negara Belanda seharga 5 euros di bandara sebagai tambahan oleh-oleh untuk keluarga saya di rumah. ^^

24 Desember 2015.
Jakartaa pukul 2 siang. Panas terik matahari menyambut kehadiran saya dari London. Dear Indonesiaa, I miss you so bad, hatiku pun terbesik. Pengambilan bagasi serta pengecekan imigrasi alhamdulillah juga berjalan lancar. Menuju pintu keluar, tante dan kakak sepupu saya bersama supirnya pun menyambut saya. Senang dan sedih pun bercampur pada saat itu. Yap, hari itu saya memang akan lansung melanjutkan perjalanan ke Padang. Sementara Aishah juga melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta dimana rumahnya berada.

Bagaimana Garuda Indonesia dari London ke Jakarta? 13 jam duduk di pesawat, non-stop dari Amsterdam ke London, menurut saya bukanlah hal yang menyenangkan dan juga bukan pilihan yang tepat. Walaupun pesawat kepunyaan negara sendiri, tapi jika disuruh memilih, saya lebih cenderung naik pesawat seperti emirates, qatar, atau turkish airlines, bukan karena tidak cinta produk negara sendiri dan juga bukan mendukung transportasi Indonesia, tetapi jarak tempuh London ke tempat transit, pun dari tempat transit ke Jakarta dengan tiga pesawat tersebut memiliki jarak waktu yang seimbang. Sebut saja, 7jam dan 7 jam. Dan bagi saya, it’s just perfect. 🙂

Kemudian……
22.00. Bandara Minangkabau, Padang….
Akhirnyaa.. Saya pun bisa memeluk ibu, ayah, kakak dan adikku yang sudah menunggu saya di luar bandara.

1.5 tahun sejak Juni 2014 saya meninggalkan Indonesia, membuat saya bahagia yang teramat bahagia bisa pulang pada liburan natal kali ini. Alhamdulillah. Walaupun riset saya ketika itu sedang padat yang mengharuskan saya bahkan datang ke laboratorium untuk memonitor masa dari sampel beton saya, akhirnya pembimbing saya pun dengan senang hati melakukannya. Wahh alhamdulillah. hehe